DEMAM TIFOID (TYPHOID FEVER)
Oleh : Supriyono, SKM, M.Kes
Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung
meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik
dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita
yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier.. Demam Tifoid juga dikenali
dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau Enteric fever. Demam tifoid
adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan
ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala
perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya
adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.
PENYEBAB
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang
memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah
manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit,baik ketika ia sedang
sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada masa penyembuhan, penderita pada masih
mengandung Salmonella spp didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5%
penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi
karier yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal
type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang yang ringan pada karier demam
tifoid,terutama pada karier jenis intestinal,sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak
jelas.
PENYEBARAN KUMAN
Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna (mulut,
esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia
bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan,
urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat).
Lalat itu mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Saat kuman
masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian
kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi sehingga bisa ” menjebol”
usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke
pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Jika
demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita bisa mengandung kuman S typhi yang siap
menginfeksi manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita
yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman
Salmonella bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. S. thypi hanya
berumah di dalam tubuh manusia. Oleh kerana itu, demam tifoid sering ditemui di tempat-tempat
di mana penduduknya kurang mengamalkan membasuh tangan manakala airnya mungkin
tercemar dengan sisa kumbahan.
Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan membagi dan merebak ke dalam
saluran darah dan badan akan bertindak balas dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam. Pembuangan najis di merata-rata tempat dan hinggapan lalat (lipas dan tikus) yang akan
menyebabkan demam tifoid.
PATOLOGI
HCL (asam lambung) dalam lambung berperan sebagai penghambat masuknya
Salmonella spp dan lain-lain bakteri usus. Jika Salmonella spp masuk bersama-sama cairan,
maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme
penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi
pengosongan lamung, sehingga Salmonella spp dapat masuk ke dalam usus penderita dengan
lebih senang. Salmonella spp seterusnya memasuki folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam
lapisan mukosa atau submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih banyak
Salmonella spp. Setelah itu, Salmonella spp memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai
aliran darah. Dengan demikian terjadilah bakteremia pada penderita. Dengan melewati kapilerkapiler yang terdapat dalam dinding kandung empedu atau secara tidak langsung melalui kapilerkapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut disana.
Melalui empedu yang infektif terjadilah invasi kedalam usus untuk kedua kalinya yang lebih
berat daripada invasi tahap pertama. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada
jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Demam tifoid merupakan
salah satu bekteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai
macam organ mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk darah,
terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang.
Kelainan utama terjadi pada usus kecil, hanya kadang-kadang pada kolon bagian atas, maka
Salmonella paratyphi B dapat menimbulkan lesi pada seluruh bagian kolon dan lambung.
Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis superfisial yang
disebabkan oleh toksin bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh pembuntuan pembuluhpembuluh darah kecil oleh hiperplasia sel limfoid (disebut sel tifoid). Mukosa yang nekrotik
kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus
yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu
usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar
ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka perdarahan yang
hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan
hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada
penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai
dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat
sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi
yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi
yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun
perforasi.
Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung
kuman Salmonella spp sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita merupakan urinary karier
penyakit tersebut. Akibatnya terjadi miokarditis toksik, otot jantung membesar dan melunak.
Anak-anak dapat mengalami perikarditis tetapi jarang terjadi endokaritis. Tromboflebitis,
periostitis dan nekrosis tulang dan juga bronkhitis serta meningitis kadang-kadang dapat terjadi
pada demam tifoid. GAMBARAN KLINIK
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada
awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :
» ~ anoreksia
» ~ rasa malas
» ~ sakit kepala bagian depan
» ~ nyeri otot
» ~ lidah kotor
» ~ gangguan perut (perut meragam dan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang
termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut.
~Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan
penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc
hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi
antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih
berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Episteksis dapat dialami oleh
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada
periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi
pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan
terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola)
berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada
penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,
timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat
bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi
teraba dan abdomen mengalami distensi.
~ Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya
menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada
minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan
yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif
nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat
yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran
umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan
darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap
akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.
Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. ~ Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi
tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan
temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan
makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa
delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan
nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus
sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya
memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
~ Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
Relaps. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu
yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan
gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak
diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel najis atau darah bagi mengesan
kehadiran bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada hari 14
yang pertama dari penyakit. Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai posotif pada hari
kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes
widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200)
menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.
Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan
keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah
demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti
terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis
polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.
Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu
khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah
terpapar dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi
obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman
ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan
seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya
sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh
manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh
sendiri. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Intestinal
» ~ Perdarahan usus
» ~ Perforasi usus
» ~ Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra –Intestinal
~ Komplikasi Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan
septik),miokarditis,trombosis dan tromboflebitis
~ Komplikasi darah : anemia hemolitik ,trombositopenia, dan /atau Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dan Sindrom uremia hemolitik
~ Komplikasi paru : Pneumonia,empiema,dan pleuritis
~ Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis
~ Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis, dan perinefritis
~ Komplikasi tulang : osteomielitis,periostitis,spondilitisdan Artritis
~ Komplikasi Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia
PENGOBATAN
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Paasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan
retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih
dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi
intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian
cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya
diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman pada pasien demam tifoid.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
» ? Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam
tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari
bebas demam.Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.Dengan
kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari.
?Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada
klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun ratarata 5-6 hari
Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-trimoksazol
kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400
mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata turun d setelah 5-6 hari.
Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,efektivitas ampisilin
dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.Indikasi mutlak penggunannnya
adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150
mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan
Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.
Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi
ketiga antara lain Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam tifoidtetapi dosis
dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian belum
diketahui dengan pasti.
Furazolidon.
EPIDEMIOLOGI DAN PENCEGAHAN
EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan perorangan
yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah
baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran
penyakit ini.
Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak
bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihan
lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau
perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
Usia Persentase
12 - 29 tahun 70 - 80 %
30 - 39 tahun 10 - 20 %
> 40 tahun 5 - 10 %
Langkah-langkah pencegahan Vaksinasi dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil tifoid dan paratifoid A dan B
yang dimatikan ) yang diberikan subkutan 2 atau 3 kali pemberian dengan interval 10 hari
merupakan tindakan yang praktis untuk mencegah penularan demam tifoid Jumlah kasus
penyakit itu di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 358-810 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. Suntikan imunisasi tifoid boleh dilakukan setiap dua tahun manakala vaksin oral diambil
setiap lima tahun. Bagaimanapun, vaksinasi tidak memberikan jaminan perlindungan 100
peratus.
Minum air yang telah dimasak sahaja. Masak air sekurang-kurangnya lima minit penuh (apabila
air sudah masak, biarkan ia selama lima minit lagi).
Buat air batu menggunakan air yang dimasak.
Sekiranya sedang dalam perjalanan, gunakan air botol atau minuman berdesis berkarbonat tanpa
ais. Anda hendaklah lebih berhati-hati dengan ais kacang atau air batu campur yang
menggunakan ais hancur, terutama sekali dalam keadaan sekarang.
Makan makanan yang baru dimasak. Jika terpaksa makan di kedai, pastikan makanan yang
dipesan khas dan berada dalam keadaan `berasap’ kerana baru diangkat dari dapur.
Tudung semua makanan dan minuman agar tidak dihinggapi lalat. Letakkan makanan di tempat
tinggi.
Gunakan penyepit, senduk, sudu atau garpu bersih untuk mengambil makanan.
Buah-buahan hendaklah dikupas dan dibilas sebelum dimakan.
Cuci tangan dengan sabun dan air bersih sebelum menyedia atau memakan makanan, membuang
sampah sarap, memegang bahan mentah atau selepas membuang air besar.
Anda akan mendapati insiden tifoid berkurangan dengan amalan ini yang sepatutnya menjadi
tabiat seharian dan bukan hanya musim wabak.
Pilih gerai dan pengendali makanan yang bersih.
Dalam keadaan sekarang, adalah baik sekiranya orang ramai mengelak daripada membeli
makanan atau minuman daripada penjaja jalanan terutamanya yang menjual minuman sejuk.
Hapuskan tempat pembiakan lalat-lalat bagi mengelakkan pembiakan.
1. Rebus, masak, kupas atau lupakan sahaja.
Elakkan makanan serta minuman yang berisiko. Ini mungkin mengejutkan anda tetapi melihat
apa yang anda makan dan minum terutamanya semasa dalam perjalanan adalah sama pentingnya
seperti anda mendapat pelalian.
Dengan menghindari makanan berisiko juga mampu melindungi diri anda daripada lain-lain
penyakit seperti cirit-birit, kolera/taun, disenteri dan hepatitis A.
2. Dapatkan pemvaksinan.
Jika anda menetap atau dalam perjalanan menuju ke negara yang biasa diserang wabak demam
kepialu, anda perlu menimbangkan pemvaksinan menentang demam kepialu. Berjumpalah
dengan doktor untuk mengetahui lebih lanjut tentang pilihan vaksin anda. Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman S. typhi dibandingkan wanita karena aktivitas di
luar rumah lebih banyak. Semua kelompok umur dapat tertular penyakit tifoid, tetapi yang
banyak adalah golongan umur dewasa tua. Angka kejadian demam tifoid tidak dipengaruhi
musim, tetapi pada daerah-daerah yang terjadi endemik demam tifoid, angka kejadian meningkat
pada bulan-bulan tertentu. Di Indonesia, angka kejadian demam tifoid meningkat pada musim
kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya
populasi lalat pada musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan.
Demam tifoid masih merupakan masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat
sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup
tinggi berkisar antara 354-810 / 100.000 penduduk pertahun. Di Palembang dari penelitian
retrospektif selama periode 5 tahun ( 1990-1994) didapatkan sebanyak 83 kasus ( 21,5 %)
penderita demam tifoid dengan hasil biakan darah salmonella positif dari penderita yang dirawat
dengan klinis demam tifoid. Demam tifoid adalah penyakit yang umum di Indonesia.
Referensi
Ranjan L.Fernando et al. Tropical Infectious Diseases Epidemiology, Investigation, Diagnosis
and Management, London, 2001;45:270-272
Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005.
Article By: Mahasiswa Fakultas Kedokteran UH ‘05
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever
DEMAM TIFOID
Diposting oleh
Unknown
Senin, 17 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar